Jakarta – LSM PENJARA 1 menyatakan sikap resmi atas berkembangnya informasi dan fakta persidangan terkait kasus judi online (judol) yang melibatkan pegawai Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), di mana dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum disebutkan adanya dugaan keterlibatan Budi Arie Setiadi, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kominfo dan kini menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM.
Dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Zulkarnaen Apriliantony, tertuang dugaan pembagian komisi penjagaan situs judi online dengan skema 50 persen untuk Budi Arie. Dugaan tersebut dibacakan secara resmi di persidangan dan dikaitkan langsung dengan kapasitas jabatan yang bersangkutan kala itu.
“Fakta yang terungkap di ruang persidangan adalah sinyal bahaya atas lunturnya prinsip akuntabilitas pejabat publik. Jika aparat penegak hukum tidak segera bertindak, maka keadilan hanya akan menjadi ilusi di tengah kebisingan politik,” ujar Ketua Umum LSM PENJARA 1, Teuku Z. Arifin.
LSM PENJARA 1 memandang bahwa keterlibatan pejabat negara dalam jaringan ilegal seperti perjudian online bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap etika jabatan dan mandat konstitusi. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, segala bentuk pemberian atau janji dengan tujuan mempengaruhi tindakan pejabat publik harus ditindaklanjuti secara hukum.
Lebih dari itu, penyebutan nama seorang Menteri dalam surat dakwaan di pengadilan pidana bukan sekadar informasi biasa, ia merupakan red flag institusional yang menuntut respons hukum yang cepat, objektif, dan tidak pandang bulu. Ketika integritas jabatan digadaikan demi keuntungan haram, maka negara sedang digerogoti dari dalam oleh pembusukan kekuasaan.
LSM PENJARA 1 menyerukan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia untuk mengaktifkan fungsi penyelidikan secara proaktif sesuai asas dominus litis yang melekat pada kewenangan institusionalnya. Tidak ada kekebalan jabatan atas nama hukum, dan tidak ada kekuasaan yang patut dilindungi bila telah tercemar oleh praktik transaksional yang menguntungkan kejahatan siber berskala nasional.
“Hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas adalah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi. Negara tidak boleh ragu menegakkan keadilan ketika pelanggaran datang dari mereka yang seharusnya menjadi penjaga moral publik.” tegas Arifin.