Tragedi 1998 : Luka Perempuan Luka Bangsa

 

Oleh : Dodi Adrian Febriansyah (Sekretaris LAPMI Jaksel) 

 

Infopers.com – Korps HMI-Wati atau akrabnya dikenal dengan KOHATI menggelar kegiatan Forum Dialektika secara terbuka dengan tema “Perempuan Dalam Tragedi; Menguak Kekerasan Seksual Mei 1998 Yang Disangkal” yang diikuti oleh seluruh mahasiswa dari masing-masing Instansi dan beberapa organisasi kemahasiswaan seperti GMNI, HMI, PMII dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) masing-masing kampus (26/07/2025).


 

Forum Dialektika yang terlaksana di Auditorium Universitas PTIQ Jakarta ini tidak hanya menjadi ruang diskusi bagi para mahasiswa khususnya kepada perempuan tapi juga merestorasi sejarah tragedi seksual di tahun 1998.

 

Capaian dalam Forum Dialektika ini menunjukkan keberpihakan secara adil kepada kaum perempuan dan menjadi perlawanan yang progresif dalam bentuk kecaman terhadap pemutihan sejarah. Dari keseluruhan mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan sangat mengapresiasi adanya kegiatan ini.

 

Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber utama, Virdinda Laode Achmad, S. H., selaku Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Sarinah Aprilya Yusri Attiyah, selaku kader GMNI Cab. Jaksel, Yunda Annisa Nur Zain, selaku kader KOHATI HMI Cab. Jaksel dan Sahabati Ghina Azzahra, selaku kader PMII Cab. Jaksel.

 

“Tragedi seksual massal itu memakan korban 168 orang dan diverifikasi kebanyakan perempuan. Bahkan ketika ada yang melapor ke pihak pemerintah, justru tidak mendapatkan advokasi yang jelas” Ujar Sahabati Ghina Azzahra.

 

“Tragedi seksual tahun 1998 yang disangkal oleh Fadli Zon sejatinya merupakan bentuk upaya untuk menghilangkan sistematisasi politik orde baru, yaitu salah satunya dengan pemutihan sejarah” Tambah Virdinda.

 

Ia juga menekankan bahwa tragedi ini juga menjadi refleksi dalam bentuk keberpihakan yang melibatkan banyak peranan, baik kelembagaan maupun mahasiswa. Ia juga memberikan narasi dasar bahwa istilah “kerusuhan” merupakan kerusakan yang dilakukan oleh seseorang, sedangkan aparatur-aparatur negara juga ikut andil dalam melakukan kerusuhan-kerusuhan tersebut.

Baca Juga  TANSU-MEN "Ketan Susu Menteng" Simanis Jembatan Merah

 

“Perempuan seringkali menjadi simbol kolektif, dari aspek ras, komunitas, keluarga, dan agama. Sehingga perempuan seringkali menjadi dominasi sasaran elite politik” Tambah Sarinah Aprilya.

 

Bahkan ia juga menambahkan bahwa kekerasan seksual itu bukan hanya yang terjadi pada masa lalu, bahkan saat ini pula perempuan harus berada di posisi yang harus di bela.

 

Forum Dialektika ini bukan hanya sekedar rutinitas, tapi juga menjadi ruang penting untuk menjadi keberpihakan kepada kaum perempuan dan untuk menghidupkan HAM yang seharusnya menjadi peran negara-bukan hanya jargon belaka.