INFO’PERS
Foto : Istimewa
JAKARTA – Dewan Pimpinan Nasional Lembaga Kajian dan Peduli Hukum Indonesia (DPN LKPHI) kembali menyoroti aktivitas pertambangan yang diduga kuat tidak mengantongi beberapa izin oleh pemerintah, terutama di wilayah Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan hasil penelusuran di 3 (tiga) kementerian terkait, diketahui salah satu perusahaan pertambangan yang aktif beroperasi saat ini yaitu PT. Fatwa Bumi Sejahtera (FBS) diduga kuat belum mengantongi izin, diantaranya adalah Izin Terminal Khusus (TERSUS) dari Kemenhub, Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian ESDM, dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian KLHK.
Ikhsan Jamal selaku Direktur Bidang Hukum dan Advokasi mengatakan praktek pertambangan yang dilakukan oleh PT. FBS diduga kuat tidak memenuhi mekanisme dan ketentuan perundang-Undangan yang berlaku.
Ia mengungkap, bahwa berdasarkan Undang-undang No.17 tahun 2008 pasal (299) tentang Pelayaran menegaskan “Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan terminal khusus tanpa izin dari Menterisebagaimana yang dimaksud dalam pasal 104 ayat (2) di pidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal (158) Undang-Undang Minerba, dinyatakan bahwa “kegiatan pertambangan tanpa Izin dapat dipidana dengan pidana Penjara paling lama lima (5) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”.
“Sedangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) oleh PT. FATWA BUMI SEJAHTERA diduga kuat menggunakan dokumen perusahaan lain dengan istilah dokumen terbang. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana Menyampaikan Data Laporan Keterangan Palsu. Artinya bahwa perbuatan memberikan data atau laporan yang tidak benar dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana sebagaimana di atur dalam pasal 263 KUHP”. Terang Ikhsan
Ikhsan menambahkan, oleh karena pemalsuan suratnya di bidang pertambangan maka pidana penjara paling lama 10 tahun dengan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).
berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup Pasal 98 ayat (1) “ setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00, (sepuluh mliar rupiah)”.
Hal tersebut Kembali dipertegas dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pasal 89 ayat 2 menegaskan “Korporasi yang pasal 17 ayat 1 huruf (a) dan (b) dipidana dengan pidana paling lama 20 tahun dengan denda paling banyak Rp. 50.000.000.000.00,- (lima puluh miliar rupiah)”.
“Berdasarkan audiensi kami terhadap mabes Polri dalam hal ini Direktorat Tipiter, dan 3 Kementerian lainya, bahwa jika benar perusahaan tersebut tidak memiliki izin, maka di pastikan akan kami proses berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ujar nya
Oleh sebab itu ia mendesak Kementerian ESDM, untuk secepatnya membekukan PT. FBS berdasarkan bukti-bukti yang ada, dan mendesak Gakkum KLHK RI untuk menindaklanjuti perbuatan perusahaan tersebut, atas dugaan melakukan aktifitasnya di kawasan Hutan Lindungan tanpa IPPKH, terlebih lagi atas pembangunan Terminal Khusus yang digunakan selama ini tanpa Izin dari Kemenhub.
LKPHI juga menekankan kepada Mabes Polri melalui Direktorat Tipiter Bareskrim untuk segera memeriksa Direktur Utama beserta seluruh jajaran PT. FBS sebagai bukti penegakan hukum terhadap PT. FBS.
Sebagaimana komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terkait Presisi.
“Beliau menegaskan bahwa Jika personel tidak bisa berkomitmen sesuai konsep Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan, maka harus keluar dari institusi Polri” Tegas Ikhsan
LKPHI juga memastikan, jika hal tersebut tidak di tindak lanjuti secara serius oleh penegak hukum, maka LKPHI bakal mengajukan gugatan Class Action ke Pengadilan.(*)
Redaksi Media: IPRI/ www.infopers.com/ Ist