Balai Wartawan yang Tidak Pernah Tidur

Jakarta, infopers.com  – Sejak Balai wartawan direnovasi beberapa bulan lalu, aktivitas para wartawan alias kuli tinta di lingkungan Mapolda Metro Jaya betul-betul terpusat di kantor Humas Polda Metro Jaya. Kantor itu berada satu gedung dengan Direktorat Pengamanan Obyek Vital (Dit Pamobvit).

Belasan wartawan baik dari media cetak maupun elektronik setiap hari nongkrong di ruang pers yang mungil dan ber-AC. Boleh dibilang suasananya cukup berdesak-desakan.

Sebab, ruang itu kira-kira cuma berukuran 4 x 5 meter. Jika penat, para wartawan biasa ‘’leyeh-leyeh’’ di situ sembari nonton acara hiburan di layar televisi warna ukuran 20 inch yang terpasang di salah satu sudut ruangan itu.

Udara sejuk dari pendingin ruangan tak jarang membikin para wartawan itu terlelap di kursi-kursi dan sofa yang ada.

Tidak perlu pusing apabila perut lapar. Sebab di pelataran parker gedung itu banyak pedagang menjajakan nasi, kue dan aneka minuman dingin.

Tinggal pesan dan sekejap panganan langsung diantar. Untuk urusan perpanjangan STNK pun, para wartawan tidak perlu bersusah payah. Rinto, staf Humas yang selalu tampil berseragam dan terkesan necis selalu siap membantu perpanjangan STNK hingga tuntas.

Tidak jelas kapan Balai Wartawan yang “resmi” akan selesai direnovasi. Kendati serba darurat dan minim fasilitas, tak sedikit pun semangat para kuli tinta itu terlihat mengendur.

Aktivitas di ruang pers itu biasanya baru ramai pukul 09.00 WIB. Satu per satu wartawan berdatangan, khususnya dari radio dan internet yang sangat mengandalkan kecepatan informasi.

Harus diakui konfirmasi berbagai kasus kriminalitas atau pun masalah-masalah kepolisian, tidak terasa susah. Apalagi posisi ruang wartawan sangat berdekatan dengan ruang Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Drs Tjiptono.

Baca Juga  Aksi Komunitas Laskar Biru

Di waktu senggang, sering kali para wartawan ngobrol ngalor-ngidul ditemani bercangkir-cangkir kopi dan rokok bersama mantan Kapolres Jakarta Timur tersebut, di ruang kerjanya.

Memang, tidak semua wartawan beraktivitas di pagi hari. Di sebuah sudut ruangan, Takdir Siregar, wartawan sebuah harian sering terlihat masih tidur menjelang tengah hari bolong.

Saking semangat bekerja, bagi Takdir, ruang pers itu bahkan tak ubahnya “pondokan”. Tas ransel berisi pakaian ia simpan di salah satu sudut lemari di ruang itu.

Jika pakaian bersih habis, tak jarang Takdir mengenakan pakaian yang itu-itu saja selama beberapa hari. Seminggu sekali ia pulang ke kostnya yang terletak di dekat Kampus UKI, Cawang, untuk mengambil pakaian bersih.

Tiap malam, ia memantau perkembangan berita kriminal di Ibukota, bahkan hingga dini hari. Segmen pembaca koran yang sangat spesifik memaksa Takdir mencari berita-berita kriminal yang sangat sensasional.

Menjelang tengah malam hingga dini hari, di saat para wartawan lain sudah terlelap, aktivitas jurnalistiknya justru baru dimulai. Bahkan sekadar konfirmasi ke para pejabat kepolisian, tetapi langsung datang ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). “Di situlah kepuasannya,” kata Takdir yang bertubuh ceking itu sembari terkekeh-kekeh.

Koran di mana Takdir berkarya, bisa dikategorikan surat kabar kuning (yellow newspaper) karena isinya yang melulu kejahatan dan seks, serta dikemas secara vulgar dan sensasional. Foto-foto korban kriminalitas yang masih berbalur darah segar kerap pula ditampilkan apa adanya. Mengerikan.

Setiap judul berita dikemas panjang-panjang, tak ubahnya kalimat dan memancing rasa penasaran pembaca. Contoh “Perawan Diseret, Ditelanjangi, Diperkosa, Dicekik, Mati!”. Tidak berlebihan apabila koran itu dijuluki gebrakan spektakuler dari kelompok media cetak yang cukup menggurita di seluruh Indonesia. Sirkulasi koran itu meningkat drastis dalam waktu singkat.

Baca Juga  Layangkan Surat Ke Presiden, Ketum Yayasan Global CEO Indonesia Kecewa dengan Ketum Joman

Koran kuning yang super sensasional itu sering dituding membodohi masyarakat dan justru ikut andil menyuburkan kriminalitas di Ibukota. Tetapi, Takdir tidak perduli dan justru sangat bangga bekerja sebagai wartawan di media tersebut. “Aku hanya ingin membongkar kemunafikan di masyarakat,” kata Tadir, enteng. Tidak heran, urusan pulang pagi tidak jadi persoalan berat buatnya. Di kala wartawan lain santai di rumahnya, pada malam hari hingga bisa terlelap dengan tenang, Takdir justru menelusuri Ibukota. (sp/tak/kissos)