INFO’PERS
Ket.Gbr: Agus Wijayanto Peneliti Representative Westminster Foundation For Democracy (WFD),(Foto;Istimewa)
Jakarta— Pasca pelaksanaan pilkada serentak pada tanggal 9 Desember 2020 yang diselenggarakan diberbagai daerah di tanah air, istilah dinasti politik menjadi perbincangan dan tema diskusi yang hangat di berbagai kalangan masyarakat, baik para aktivis, akademisi, LSM, dan pemerhati demokrasi. Sebab, dinasti politik merupakan kekuatan politik yang melibatkan suatu kelompok yang memiliki hubungan kekerabatan yang mendominasi kekuasaan.
Masyarakat beranggapan bahwa dinasti politik memiliki dampak negatif karena rawan perilaku koruptif dan merusak demokrasi.
Peneliti Representative Westminster Foundation For Democracy (WFD) Agus Wijayanto menyampaikan bahwa dinasti politik tidak terjadi di Indonesia bahkan terjadi di berbagai negara di dunia baik di negara maju maupun negara berkembang.
“Misalnya negara yang memiliki hubungan kekerabatan antara lain, India 22% anggota parlemennya memiliki kekerabatan, Filipina antara 20%-74% anggota parlemennya memiliki kekerabatan, Jepang 20%, Amerika pada masa perang sipil 1/5 anggota kongres adalah kerabat dan tahun 1990-an 6%, Inggris dan Italia,” tutur Agus Wijayanto, (Jakarta, Selasa, 22/12/2020)
Sebab, dampak dinasti politik terjadinya mekanisme kompetisi yang tidak adil antar calon dengan calon yang lain, adanya potensi korupsi, kekuasaan bayangan dan pengelompokan kekuasaan di elit politik. Sehingga, ketidakadilan dan ketidak setaaran orang yang berkompetisi di pemilu rawan terjadi. Fenomena dinasti politik lazim terjadi dimana-mana bukan hanya di Indonesia bahkan di berbagai negara di dunia.
Pemicu Dinasti Politik
Pemicu politik dinasti di UK misalnya sebagai strategi partai dalam memenangkan pemilu, mendapatkan keuntungan elektoral, dan tidak memiliki basis dukungan yang kuat.
Di Indonesia pemicu politik dinasti antara lain adanya ambisius kekuasaan, cenderung pragmatis, berdasarkan peluang menang, kemapanan finansial, jaringan personal dan popularitas, masyarakat kental paternalistik, kagum oleh figur kharismatik, beroritensi pada kepentingan jangka pendek, klientelistik dan politik uang, regulasi yang tidak mengatur dinasti politik, dan personalisasi penentu keputusan di elit politik.
Persoalan politik dinasti ini merupakan persoalan bersama sesama anak bangsa baik kelompok civil society maupun kelompok masyarakat lainnya.
“Kedepan, terjaminnya kompetisi yang adil dan setara, tidak adanya hak privilage, memastikan proses pemilu berlangsung jujur, adil, langsung, bebas dan rahasia, tidak adanya korupsi dan kecurangan. Pendidikan politik publik terus digalakkan agar tidak ada pemilih pragamatis transaksional, bisa memahami dan menyadarkan memilih kepala daerah yang tidak memikirkan kepentingan jangka pendek melainkan kepentingan jangka panjang,” ungkap Agus Wijayanto Peneliti WFD di acara Webinar Populis Indonesia di Jakarta.
Anggota Bawaslu RI M. Afifudin menyampaikan dinasti politik ini mengakibatkan rusaknya tata kelola pemerintah yang baik, rentan perilaku koruptif dan pemerintah bayangan.
Biar kualitas demokrasi kedepan semakin baik lagi perlu memikirkan revisi UU Pilkada mengatur lebih komprehensif terhadap penegak hukum pilkada, rekruitmen kader politik yang lebih transparan dari partai politik, mendorong pendidikan politik dan pemilih yang lebih baik.
Menurut Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil mengungkapkan bahwa fenomena dinasti politik menghadirkan sebuah kompetisi yang tidak seimbang dan tidak fair.
“Bahkan sebuah proses kandidasi kompetisi itu sendiri tidak seimbang baik terhadap akses partai politik, akses birokrasi, dan akses sumberdaya sehingga menyebabkan proses kontestasi menjadi tidak seimbang,” ujarnya.
“Kemudian tidak bisa dikatakan bahwa orang-orang yang punya afiliasi keterkaitan kekerabatan dengan pejabat petahana baik itu istri, anak dan suami yang hendak ikut kontestasi mengatakan bahwa terserah rakyat yang menentukan, ini bukan ditunjuk atau diangkat, melainkan ikut kontestasi dipilih oleh rakyat. Kalau rakyat menghendaki ia terpilih sebagai kepala daerah, mengapa tidak” argumetasi semacam ini sangat naif dan tidak realistis menurut Fadli Ramadhanil.
Perlu diketahui bahwa pejabat petahana pasti ada pengaruh tersendiri kalau kemudian yang dicalonkan itu adalah anak, suami atau istri dari kepala daerah. Karena akses ke partai politik, akses birokrasi dan akses terhadap program-program pemerintah sangat memberikan pengaruh cukup besar. Pengaruh politik semacam itu lebih menentukan dari pada kekuatan uang.
Fenomena dinasti politik berujung pada praktik korup, lihat saja di Banten, Madura dan Sulawasi Tengah bapak jadi gubernur dan anak jadi wali kota.
Untuk itu, partai politik perlu berbenah. Jangan sampai keputusan parpol tersentralistik, karena semua keputusan pencalonan kepala daerah berada di DPP parpol, ungkap Fadli Ramadhanil.(zoom.pop/ed/redaksi media;Bar.S)