Janoe Arijanto (Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I): Pemerintah Harus Terus Membuka Dialog dengan Ekosistem Penyiaran untuk Menghadapi Disrupsi Digital

Janoe Arijanto (Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I): Pemerintah Harus Terus Membuka Dialog dengan Ekosistem Penyiaran untuk Menghadapi Disrupsi Digital

 

Jakarta, 3 Juli 2024 –

 

Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Kominfo RI dan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menyelenggarakan Focus Group Discussion dengan tema “Masa Depan Penyiaran Pasca ASO & Disrupsi Digital” dilaksanakan di The Hotel Akmani Jakarta Pusat (3 Juli 2024).

Janoe Arijanto selaku Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia seusai memberikan materi, saat ditemui awak Media Online mengatakan ; Bahwa kalau soal ASO sudah selesai hingga kepemisahan sudah 90% hingga sudah kita anggap normal kembali dan kita sudah mulai bisa menghitung measurement sebagaimana seperti sebelum ASO. Sekarang sebenarnya kalau misalnya ternyata ada data bahwa spending ke televisi itu flat atau turun dari tahun ke tahun, sebenarnya yang diperlukan lebih kepada bagaimana organisasi televisi, entah di level holdingnya itu mampu menyesuaikan dengan format landscape yang baru.

Tentu saja redefinisi terhadap arti televisi itu sendiri dan dengan konten-konten yang juga berformatnya yang berbeda-beda. Memang kalau kita mengartikan televisi yang sekarang kemudian dipindah ke digital itu juga tidak cukup karena format atau karakter maupun kebiasaan itu bisa dinikmatin dengan video yang berbeda, makanya perubahannya bukan hanya persoalan memindahkan televisi ke digital, tapi juga memindahkan format, kebiasaan, pengukuran, event culture dan cara mengelola konten itu juga harus kemudian berubah.

Sebenarnya kalau merespon ke multi platform yang kalau kemudian televisi berubah ke multi platform, formatnya kita tentu saja akan menguntungkan semua pihak baik televisi yang sedang berubah atau periklanannya, tapi kalau lebih ke ASO itu sebenarnya sekarang sudah tidak ada masalah sama sekali. Adapun untuk masalah regulasinya, karena regulasinya belum berakhir yang saya kira sih satu regulasi aja.

Baca Juga  Alumni GMNI Sandri Rumanama: Kursi Menteri MENPAN-RB Harus di Isi Orang Nasionalis dan Berpengalaman

Kalau bicara mengenai masalah undang-undang, sebaiknya undang-undang ini pro terhadap permirsa Indonesia termasuk melindungi informasi sebagai hajat hidup orang banyak di level itu dan tidak kemudian mengatur ke wilayah-wilayah yang terlalu teknis, karena memang teknologi cepat sekali berubah dan gampang sekali, kemudian tertinggal kalau kita menempatkan peraturan-peraturan teknis dalam undang-undang yang sudah diatur.

Jadi sebenarnya yang penting adalah bagaimana undang-undang itu punya semangat yang bagus untuk melindungi pemirsa dan industri pertelevisian yang sedang berubah ini dimana saya kira televisi masih menjadi yang terbesar sampai bulan Juli 2024 juga masih menjadi spending yang terbesar, sekitar 50-60%.

Dan yang diperlukan sebenarnya ke perubahan-perubahan yang saya sebutkan tadi baik perubahan yang ke arah merespon multi-platform, multi-format maupun organisasinya sendiri juga harus culture-nya harus disesuaikan dengan perkembangan landscape yang ada multi-platform itu.

Harapan untuk pemerintah tentu saja sebenarnya pemerintah bukan hanya satu pihak saja yang bisa kita berharap untuk perubahan ini. Ini kerja besar ekosistem penyiaran dan televisi karena kita semua dari periklanan maupun dari pengiklanan, content creator bahkan termasuk televisi sendiri memang harus bersama-sama untuk bergerak. Dan saya kira itu menjadi kunci yang kemudian sekedar melawan platform besar, tapi kita menjadikannya sebagai salah satu elemen yang berubah, bahkan kita berkolaborasi itu juga penting. Jadi saya kira itu harapan kita ke pemerintah untuk terus-menerus membuka dialog dengan ekosistem penyiaran,” tutupnya.